Minggu, 27 Maret 2011

Senyum; Kekayaan dan Kekuatan yang telah Hilang

Senyum sebenarnya adalah salah satu harta yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dikatakan demikian, sebab senyum bisa mengubah banyak sekali hal. Sedih jadi gembira, benci jadi rindu, orang biasa jadi simpatik, suasana beku jadi cair, hanyalah sebagian saja dari sekian banyak dampak senyum.

Di banyak masyarakat yang memiliki tradisi senyum yang memadai, angka perceraian, pencopetan, perkelahian, pembunuhan dan sejenisnya jauh lebih rendah dibandingkan masyarakat yamg miskin senyum. Ini sekaligus membuktikan, kontribusi senyum terhadap pertumbuhan masyarakat dan sehatnya masyarakat tidaklah kecil.

Sayangnya, kendati kontribusinya besar, secara cepat dan menyakinkan sudah terjadi penyusutan senyum di mana-mana, entah di kota maupun di desa, di negara maju maupun negara sedang berkembang, di kota metropolitan maupun kota kecil, di perusahaan maupun di masyarakat, semua terkena gejala penyusutan senyum.

Semua kecenderungan ini memang disebabkan oleh banyak sekali faktor. Yang jelas, entah sebagai akibat maupun sebab, senyum mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam hal ini. Sosiolog, antropolog, dan psikolog boleh saja memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Boleh saja orang memulai dengan terapi-terapi makro seperti reformasi, namun tanpa perubahan di sektor mikro seperti senyum, susah diharapkan ada penyelesaian yang total dan subtansial.
Menurut pendapat saya, senyum – lebih lebih yang mengakar dalam sampai tingkatan jiwa – bisa memberikan radiasi yang amat luas dalam penyembuhan perusahaan dan masyarakat. Sebab ia tidak saja berpengaruh pada hubungan antar perseorangan. Namun, juga pada spirit lingkungan sosial secara keseluruhan.

Bercermin pada lingkungan sosial kota besar, spirit penuh senyum inilah yang merosot dimana-mana, sekaligus memberikan spirit negatif dimana-mana. Bayangkan sebuah komunitas yang amat mudah berbagi senyum. Bertemu setiap orang, dimulai dengan senyum. Ada maupun tidak ada pemberian, senyum tetap hadir. Semua kegiatan dimulai dan diakhiri dengan senyum. Alangkah teduh dan sejuknya lingkungan sosial seperti ini.

Dengan tetap bersyukur kepada Tuhan, setiap kali naik ke tangga karier yang lebih tinggi, apalagi menjadi pimpinan puncak perusahaan, saya merasakan kehilangan saya terhadap senyum sangat besar. Di Tangga karier yang rendah dulu, terasa sekali mulut akan tersenyum langsung setiap kali bertemu orang, setiap kali bersalaman dan melakukan kegiatan lainnya. Apalagi bila habis diberi sesuatu oleh orang lain. Seperti ada saklar otomatis yang mengatur senyum setiap kali bertemu orang.

Namun, di tangga karier sekarang, saya telah dan sedang diproduksi oleh lingkungan kepemimpinan yang memaksa saya pelit dengan senyum. Wibawa, efektivitas kepemimpinan, otoritas adalah sebagaian hal yang membuat pemimpin jadi miskin senyum. Lebih-lebih bagi mereka yang pernah diinjak orang gara-gara dekat dengan bawahan dan banyak senyum. Hampir pasti, saklar otomatis senyum akan macet dan ogah bekerja.
Pertanyaan yang muncul dari sini, apakah jabatan yang lebih tinggi membuat orang mengurangi senyum? Saya tidak tahu pengalaman anda, namun dalam rangkaian pengalaman saya, jabatan memang berkorelasi negatif dengan kuantitas senyum. Semakin tinggi jabatan maka senyum cenderung semakin sedikit.

Alangkah ideal dan mengagumkan kalau ada orang yang bisa sampai tingkatan jabatan yang tinggi, namun memiliki kuantitas dan kualitas senyum yang malah meningkat. Wibawa, kharisma dan efektivitas kepemimpinan tidak menurun sedikitpun dengan banyaknya senyuman. Saya memang belum sampai di tataran ideal dan mengagumkan ini. Dan juga sedang mencari pemimpin yang memiliki skor tinggi baik di sektor senyum maupun wibawa dan kharisma.

Yang jelas, kehadiran pemimpin yang tinggi di dua sektor diatas, akan memperingan tugas kemasyarakatan yang ditandai oleh langkanya senyum. Lebih-lebih kalau kita secara bersama-sama juga rajin membagi senyum setiap hari. Mungkin akan amat bermanfaat bila bertanya ke setiap orang setiap hari : Sudahkah Anda tersenyum hari ini ? 

Semoga bisa dijadikan renungan.
Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Cermin

Cermin
 
© Copyright 2035 Jaahil Murokkab