Gejala mementingkan ijazah, dan sebaliknya mengabaikan ilmu, rupanya sudah menjadi fenomena umum. Akibatnya sekolah hanya menjadi sesuatu yang harus dijalani atau diikuti. Semua diukur dengan waktu. Sekian jam guru harus mengajar, dan demikian pula sekian lama murid atau mahasiswa harus mengikuti pelajaran. Atau, sekian lama guru atau dosen harus memberi kuliah, dan sekian prosen pula murid atau mahasiswa harus mengikuti kegiatan guru itu.
Akibatnya, keberhasilan sekolah sebatas hanya dilihat dari berapa lama siswa atau mahasiswa mengikuti, bukan berapa banyak mendapatkannya. Bagi sementara murid yang dipentingkan adalah telah mengikuti, bukan berharap seberapa banyak harus mendapatkannya. Padahal mengikuti lain dengan mendapatkan. Bisa jadi orang mengikuti kegiatan belajar mengajar, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatannya itu. Itulah pendidikan yang kebanyakan sekarang ini berjalan.
Dalam pendidikan semestinya terjadi hubungan yang erat antara guru dan murid. Dalam hubungan pendidikan seharusnya ada suasana saling mengenal, tanggung jawab, motivasi, integritas terhadap ilmu, dan bahkan ada suasana hubungan kasih sayang antara guru dan murid. Hubungan ideal pendidikan seperti itu, ternyata semakin berubah, berganti menjadi hubungan yang bersifat transaksional, karena bersekolah hanya mengejar ijazah itu.
Lembaga pendidikan yang diwarnai oleh hubungan-hubungan transaksional, maka yang terjadi kemudian adalah kesepakatan-kesepakatan kosong yang saling menguntungkan tetapi bersifat semu. Pertemuan antara siswa dan guru atau mahasiswa dengan dosen didasarkan atas transaksi-transaksi yang telah disepakati, termasuk berapa harga yang harus dibayar. Seorang mahasiswa dibolehkan ujian jika telah mengikuti sekian kali kuliah dan juga melunasi SPP. Hubungan di sekolah, antara guru dan murid persis seperti hubungan penjual dan pembeli di pasar atau di mall.
Lembaga pendidikan formal kebanyakan sudah seperti itu. Apa saja dijalankan secara formal dan transaksional. Bersekolah hanya mengejar hasil yang bersifat formal, yaitu ijazah atau sertifikat. Lembaga pendidikan yang masih bertahan, yakni lebih berorientasi pada substansi atau esensi pendidikan, justru di kalangan pendidikan tradisional, misalnya pesantren salaf. Hubungan antara kyai dan santri bertahan, masih didasarkan atas suasana kasih sayang, tanggung jawab, integritas, dan bahkan juga nilai-nilai transcendental. Di kalangan pesantren dikembangkan beberapa konsep seperti : tawadhu’, tho’ at, ridho, barokah, khurmah, dan lain-lain.
Hal yang berlaku di lembaga pendidikan pesantren salaf, seorang santri harus thoát dan tawadhu’kepada kyai agar mendapatkan ridho, sehingga ilmu yang diperoleh membawa manfaat. Di sana ada istilah ilmu yang bermanfaat. Belajar di pesantren, para santri tidak saja berusaha mendapatkan sembarang ilmu, tetapi adalah ilmu yang memberi manfaat bagi hidupnya. Agar tujuan itu berhasil diraih, maka santri harus berusaha mendapatkan ridho dan berkah dari kyai. Sehingga terasa sekali, bahwa suasana transcendent selalu mewarnai bagi siapapun yang mencari dan atau memberikan ilmu pengetahuan di pesantren.
Hal yang perlu dipahami bahwa pendidikan di pesantren dimaksudkan adalah untuk membangun watak, kharakter, perilaku atau akhlak. Ilmu dianggap tidak akan memberi manfaat jika tidak mampu mengubah atau membentuk perilaku. Belajar di pesantren bukan berharap mendapatkan ijazah, melainkan dimaksudkan untuk mengejar ilmu, kecuali adalah pesantren yang telah membuka sekolah formal.
Bahkan ada sementara pesantren yang menganggap bahwa dengan mengikutkan para siswanya ujian persamaan, mendapatkan ijazah, dan sejenisnya, menjadikan para santri atau siswa hanya mengejar surat keterangan tanda lulus. Oleh karena itu ijazah atau surat keterangan, sekalipun sudah dinyatakan lulus, baru bisa diterima setelah para siswa melakukan kegiatan pengabdian selama waktu yang ditentukan. Kebijakan seperti ini dilakukan agar para siswa ketika belajar benar-benar termotivasi untuk mendapatkan ilmu, dan bukan sebatas mengejar ijazah.
Berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh pesantren, adalah justru kebanyakan sekolah formal atau sekolah umum. Lembaga pendidikan formal, semua aspek dijalankan atas dasar standard tertentu. Namun ternyata tidak semua berhasil meraih kualitas yang diharapkan. Dengan orientasi seperti itu, justru pendidikan banyak dimanipulasi. Ijazah dan gelar didapat tetapi ilmunya belum dikuasai. Anehnya, pemegang ijazah seperti ini juga merasa puas. Padahal seharusnya sudah semakin disadari, bahwa lulusan seperti itu, ------sebatas meraih ijazah dan gelar, tidak akan bermanfaat.
Sumber: Artikel Prof. Dr. Imam Suprayogo; Rektor UIN Malang
0 komentar:
Posting Komentar