Sebagai mahasiswa awam “jiddan”, saya terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan. Salah satunya adalah Antara dunia kriminal dengan dunia keterpelajaran, Sebutlah Pelajar dan Tawuran, Mahasiswa dan Anarkisme, Islam dan Mengamuk/membakar, Pemerintah dan Korupsi, Guru ngaji dan memperkosa. Kesemuanya adalah dua nilai yang saling bertentangan dan berlawanan, namun ternyata berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia. Sehingga kadang saya mendongakkan kepala kelangit dan bersabda: “Kalau para kaum terpelajar sudah mulai belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan, adakah Engkau memang mentakdirkan mereka demikian?”. Tapi selalu saja pada akhirnya saya harus berpuasa komentar dan belajar bersabar untuk tetap bersikap sportif, untuk melihat segala sesuatu lebih kedalam, sehingga nantinya tidak ada yang tercederai oleh pemahaman atau pemikiran, dan tidak ada alibi yang akan menjadi hujjah untuk membuat saya menyalahkan atau sampai kelevel mengkafirkan mereka. Terkhusus buat mahkluk kampus bernama mahasiswa. Tuhan berfirman dengan pola komunikasi diskusi yang sangat bijaksana tapi membingungkan,“Yang kalian benci, dan singkirkan itu mungkin justru yang baik dan kalian perlukan. Sementara yang kalian junjung-junjung tiap hari, itu mungkin yang berbahaya bagi kalian, bahkan itu bisa jadi mencelakakanmu”. Demikianlah Tuhan memperingatkan kita.
Lantas dengan melihat fenomena kekebalan negatif yang terjadi di kampus, apakah memang penyebabnya karena ideologi mahasiswa kini telah bergeser dari khittoh-nya? Seperti mahasiswa yang malas membaca buku, enggan berdiskusi, anti-organisasi, Hedonisme yang berlebihan, Sikap Apatis yang berkepanjangan, menghindari sholat berjamaah dan pengajian di masjid, dan lain-lain. Sehingga kita mahasiswa menjadi miskin gagasan, kering idealisme, mengalami gejala impotensi moral spiritual yang luar biasa dan akhirnya semakin mendekati jurang “asfala saafiliin”. Saya sendiri tidak berani manjawab “ya” atau “tidak”, takut dituduh sok tau. Mungkin saja karena kita hanya menyibukkan diri untuk mempercantik chasing kita, Sehingga lupa memperbaiki kerusakan-kerusakan machine-nya kita. Akhirnya kita jelas akan kesulitan dalam menangkap signal-signal ilmu, begitupula untuk menerima cahaya-cahaya spiritual ilahi.
Tapi tidak ada yang mesti membuat kita heran, karena memang kita telah memasuki zaman yang saya sebut “pasar bebas-sebebas-bebasnya”. Sehingga untuk mengetahui peradaban mahasiswa dimana kita sekarang sangatlah sulit menentukannya. Terkadang membayangkan bahwa kita mahasiswa adalah Adam yang senang dengan khuldi sehingga suatu saat akan terusir dan dilempar, lalu di suruh naik keatas perahu namun kita hanya tertawa dan memilih pergi untuk tidak menaikinya, akhirnya semua akan tenggelam dalam banjir. Terkadang juga mahasiswa adalah Ismail yang disembelih oleh bapaknya sendiri tapi sayang tidak ada kambing yang menggantikan posisi ketersembelihannya disini, bahkan terkadang saya mengigau bahwa kita ini sebenarnya sedang tertelan Ikan raksasa sebagaimana Yunus dan kenyataannya terbukti sampai sekarang kita tidak memiliki kesanggupan untuk menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan ini. Terserah anda bagaimana memahaminya. Indeed, We have a lot of homework to do, A big problem to solve. Saya tidak perlu menyebutkannya satu persatu seribu-satu masalah itu, karena hanya akan menetaskan dan melahirkan anak-anak masalah yang baru. Silahkan anda pikirkan, cari, hitung dan petakan sendiri.
Tapi bisa jadi salah-satu yang menjadi penyebab semakin kokohnya bangunan masalah dan demoralisasi dalam kampus adalah karena faktor terpenting dalam kehidupan itu tidak ada mata kuliahnya, atau tidak dibuka jurusannya. Contohnya, tidak ada jurusan “kebaikan dan moral” padahal semua orang diperlukan untuk baik dan bermoral. Tidak ada program studi “kejujuran dan kerendahan hati”, padahal dalam bekerja nantinya sangatlah dibutuhkan kejujuran dan kerendahan hati seseorang. Oleh karena itu Perguruan tinggi betul-betul harus menjadi laboratorium ilmu dan kecerdasan, masjidnya harus menjadi pusat pembentukan dan pembinaan akhlak yang karimah, organisasi mahasiswa harus menjadi lahan subur untuk memproduksi berkarung-karung pengalaman leadership dan manajemen, Dosen tidak hanya menjadi pengajar, pendidik atau pembimbing, akan tetapi lebih daripada itu. Dosen juga harus menjadi motivator dan teladan, bahkan harus menjadi guru spiritual buat mahasiswanya. Sedang mahasiswa harus dilihat sebagai bibit unggul generasi penerus “Iron Stock” yang akan melanjutkan kekhalifahannya dibumi mana saja yang akan ia tempati. Dan Al-Quran harus dikaji lebih serius dan dijadikan sebagai kepustakaan yang utama, karena keseluruhannya mampu merangkum dan menjelaskan bagian-bagiannya, dan bagian-bagiannya mampu merangkum dan menjelaskan keseluruhannya. Maka semua harus berhijrah, sebagaimana yang dilakukan Baginda Muhammad SAW. Sehingga pada akhirnya kampus akan menciptakan manusia-manusia intelektual-emosional-spiritual, manusia akhlak, manusia fiqh, manusia moral, manusia ilmiah, dan manusia-manusia yang bermanfaat lainnya.
Mengenai pertanyaan tentang beberapa tulisan-tulisan saya yang ada di dunia maya yang “katanya” kontroversial, saya tidak ingin banyak mengomentarinya, anggap saja itu adalah sebagai kegenitan intelektual saya, atau anggap saja itu adalah bukti dari kefakiran ilmu dan kemelaratan spiritual saya. Jadi bukan atas dasar penolakan-penolakan atau ketidak-puasan saya terhadap kebijakan-kebijakan tertentu. Saya sangat menyadari ketumpulan pisau analisis yang saya pakai, sehingga anda harus mafhum dan maklum atas kerabunan mata saya memandang setiap perisitiwa. Kesimpulan saya, Dunia dan segala kemewahannya tidak kita bawa, dan semua yang ada di bumi hanyalah kesemuan dan kepalsuan belaka. Saya tidak memiliki kadar ilmu yang memadai untuk menentukan kebenaran, untuk melaporkan yang bathil, dan untuk memperbaiki apa saja. Saya hanya membaca, berdiskusi, merenung dan akhirnya beraksi dan terkadang harus menulis, “in uriidu illal Ishlaah”; begitulah prinsip “Iqra” hidup saya. Bagilah yang bukan kesia-siaan, mari kita abadikan kebaikan kita dengan melupakannya. Wallohu a’lam
(Tulisan Ini pernah di terbitkan di Tabloid Redline STAIN Parepare)

0 komentar:
Posting Komentar