Ibuku adalah perpustakaan pertamaku. Mengajariku apa itu cinta, menangis dan tertawa. Ibuku adalah guru tanpa buku. Lebih buku dari buku. Guru di atas guru. Mencintaiku tanpa mengatakan "aku mencintaimu, anakku". Ibuku menasehatiku, "kalau kamu jatuh cinta kepada seorang perempuan, jangan terlalu lebih, jangan terlalu dalam, jangan terlalu luas, jangan terlalu cinta, nanti kamu akan sangat sakit, terluka dan sangat menderita. Sekali lagi, nak, cintailah sekedarnya saja. Berjanjilah pada ibu..."
Aku tertunduk, mengangguk-angguk sambil berkata; "iya bu, aku janji". Dalam hati, aku melanjutkan jawabanku, "aku janji, aku akan mencintai perempuan sepenuh hatiku segenap jiwa tanpa logika tanpa matematika. Dengan cara yang paling gila, cinta yang luas dan teramat dalam. Walaupun aku harus mati di tangannya" . Tiba-tiba ibuku roboh memelukku, "nak, aku sudah hafal mati isi hatimu, aku yang melahirkanmu, aku yang membesarkanmu, jangan bohongi ibu. Jangan lakukan itu!"
"tapi aku ingin merasakan penderitaan cinta ibu kepadaku saat melahirkan aku!"
"Nak, kamu tidak akan kuat, cukup ibu yang merasakannya!"
Bathinku pecah. Pipiku basah. Ibuku adalah perpustakaan airmataku. Aku memang mencintai pengetahuan: Buku. Tapi aku lebih mencintai perempuan: Ibuku.
[Kepada yang mulia semua ibu dan semua perempuan yang akan menjadi seorang ibu,
syaiun lillah lahum alfatihah]
Senin, 08 Juli 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar