Kamis, 24 Maret 2011

Pecinta Alam Vs Maudipala (Mau dibilang Pecinta Alam)

Pencinta Alam, seringkali diidentifikasikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan alam. Menjelajah gunung, menyusuri gua, mengarungi keajaiban dasar samudera, merambah belantara nan sunyi dan sederet kegiatan ‘alam’ lainnya.  Tentang pencinta sendiri di negeri kita, seringkali kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sloganisasi belaka, Tapi Lagi-lagi saya tidak mengatakan bahwa temua Pecinta Alam, Hanya sebagian dari meraka yang sebatas menikmati alam untuk diri sendiri, sebatas mencari kepuasan untuk kepentingan pribadi. Pencinta Alam ( baca: mereka yang menamakan diri sebagai Pencinta Alam) sering kali melakukan banyak aktivitas yang justru mengganggu keseimbangan alam. Menjelajah gunung dan membuat jejak-jejak disana, mencoret batu-batu di puncak, membuang sampah non organik ke sembarang tempat, membuat api unggun yang seringkali lupa dimatikan, memetik Edelweiss hingga beratus-ratus tangkai….  Saat ini saya juga masih terlibat dalam Ikatan Keluarga “Pencinta Alam”. Karena saya tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Islam Pecinta Alam (MISPALA COSMOSENTRIS) di Kampus saya, STAIN Parepare.

Jujur, Rasanya bangga sekali bila berhasil “menaklukan” puncak-puncak tertinggi. Memang, rasanya damai sekali di tengah kesunyian alam, menikmati keindahan kota nun jauh disana yang tertutup sebagian kabut, menyaksikan keajaiban sunrise dan sunset kala cuaca bersahabat. Dengan apapun, itu tak akan pernah bisa tergantikan.  Hanya saja, yang sering mengganggu saya, seringkali di perjalanan menuju puncak banyak sampah berserakan. Tentunya, ini adalah sampah yang dibawa oleh para pendaki karena sebagian besar makanan yang dibawa khas sekali. Sampai di puncak? Wah… lebih ngeri lagi. Bebatuan yang semestinya terlihat asri dan indah penuh coretan. Untuk apa? Sialnya coretan-coretan itu seringkali membawa nama sekolah, nama kampus, atau nama kelompok yang notabene lebih ‘terpelajar’ (intelektual) dari pada para pendaki liar.  Saya pernah merasa malu sekali ketika dalam sebuah pendakian kami secara kebetulan berpapasan dengan pendaki dari mancanegara. Dengan sebuah kantong besar, mereka menuruni gunung sambil memunguti aneka macam sampah yang terserak. Wah, rasanya kami tak punya muka lagi untuk menatap mereka. Tentu, bukan karena sampah yang mereka pungut adalah sampah kami, melainkan karena kepedulian mereka akan alam. Sementara, para pendaki lokal yang (seharusnya) memiliki kesadaran lebih, justru mengabaikannya.  Sebuah organisasi Pencinta Alam seharusnya bukan sekadar sebuah tempat bernaung bagi mereka yang senang bertualang saja atau menghabiskan anggaran dana . 

Ironis membayangkan mereka melakukan pendakian besar-besaran yang menelan biaya tinggi sampai ke luar negeri, sementara, di negeri sendiri, negeri yang (seharusnya) elok dan kaya akan hutan tropis perlahan mulai kehilangan identitasnya. Pencurian kayu, pembabatan hutan secara liar luput dari penyelamatan sang ‘pencinta alam’ Pencinta Alam.  Dalam konteks bahasa adalah seseorang yang sangat mencintai alam. Mencintai berarti melakukan banyak hal untuk sesuatu/seseorang yang dicintai. Mencoba membahagiakan sesuatu/seseorang yang kita cintai dengan tulus. Melakukan banyak hal agar sesuatu/seseorang yang dicintai merasa nyaman. Mencintai itu tanpa sederet syarat apapun, Mencintai itu sesuatu yang tulus, tanpa pamrih. Mencintai Alam, sama halya dengan melakukan banyak hal untuk alam, tanpa syarat-syarat khusus, tanpa dibarengi rasa keegoisan untuk memiliki alam secara individual, tanpa mengabaikan apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh alam. So, Apakah anda Pecinta Alam? atau anda hanyalah Maudipala alias hanya mau di bilang Pecinta Alam???

Untuk menjadi Pecinta Alam sejati, Semua harus dilakukan tanpa pamrih, Mencintai alam, mencintai wujud ciptan-Nya, mengasihi setiap apa yang ada di dalamnya. Memulai dari hal kecil di sekitar kita. Meski kecil, andai setiap orang melakukannya pasti hasilnya menjadi lebih berarti. Semoga bisa jadi renungan. 


Semoga bermanfaat.
Landak Cosmosentris

0 komentar:

Posting Komentar

Cermin

Cermin
 
© Copyright 2035 Jaahil Murokkab