Kamis, 29 September 2011

Kritik Nalar Kampusku


(Catatan Kecil untuk STAIN PAREPARE)
Anda boleh menyangka tulisan ini sebagai propaganda murahan, atau tentang sesuatu yang berhubungan dengan kegenitan intelektual; tapi setidak-tidaknya dengan menanggapinya, kita telah mencoba memulai sebuah proses discourse yang selama ini tidak ada di Kampus ini.

Dengan berpegang pada salah satu situs teori kritis yakni kecenderungannya pada dialektika yang pendekatannya bertitik tolak pada ‘totalitas sosial’ akan memungkinkan penulis dalam melihat kondisi Kampus ini, khususnya nalar yang bekerja di dalamnya sebagai fenomena yang tidak terisolasi, untuk kemudian dipahami sebagai struktur sosial yang tak lepas dari entitas global, di mana komponen nalar yang terbangun merupakan gejala dari sejarah secara keseluruhan, atau dengan kata lain penulis menampik perspektif positivis yang selalu melihat sebuah interaksi kultur (termasuk di Kampus ini) sebagai proses yang alamiah dan wajar. 

Kita belum melihat bagaimana otoritas akademik untuk mencoba jalan baru dalam membingkai masa depan Indonesia, tentang memandirikan diri pribadi atau dalam konteks sosial berbangsa. Cakupan itu tentu adalah cita besar, mimpi-mimpi yang niscaya, sejak kakek buyut kita berdarah-darah saat memerangi para penjajah dulu (yang kini mungkin telah kita kubur bersama ekstase kita terhadap hura globalisasi/grobalisme). “Penjajahan telah berlalu; tugas generasi saat ini dan akan datang adalah mengisi kemerdekaan…” begitu sebuah pesan dosen kita. Sebuah amanah yang sangat mulia sekaligus cenderung kepedean (naïf mungkin??), jika melihat kenyataan yang sesungguhnya hari ini. 

Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengangkat bagaimana para akademisi STAIN PAREPARE didominasi dan mendominasi mahasiswanya, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan ideology minstream, secara sadar atau tidak sadar. 

Pesan dosen tersebut mengandung pengertian yang dalam pandangan Gramscian sebagai sebuah penampakan kenaifan kultural yang mengejawantah dalam potret pendidikan Indonesia, hegemoni adalah penjajahan paling sadis dengan selubung yang halus dan ini ada pada lingkungan perkuliahan , atau untuk meminjam istilah Althuser, Kampus ini adalah sebuah bentuk dari apa yang disebutnya sebagai lembaga ISA (ideology state aparatus). Melaui ranah budaya dan pendidikan, negara melampiaskan pengekangannya, demi mempertahankan status quo-nya. 

Dalam pandangan lain kita bisa melihat perkuliahan sebagai kolonisasi ilmu pengetahuan terhadap manusia, singkatnya kita mengecap penindasan kultural; kita ditempatkan dalam sebuah wadah yang dirasionalisasi demi kepentingan kelanggengan status quo dan pengusung ideology dominan, sehingga nalar kita dibentuk dan dipaksakan melalui cara-cara yang paling bengis namun halus. Akibatnya dunia pendidikan layaknya tempat untuk membentuk manusia-manusia yang irrasional, karena ia dicerabuti dari rasionalitas subjektifnya, bahkan tak mampu lagi mengenal dirinya sendiri. Di sisi lain media massa telah mendorong proses-proses rasionalisasi dengan pakem yang sama, untuk kepentingan ideology dominan; jadi pendidikan dan proses perkuliahan di Kampus ini bagaimanapun murninya, ia mempertahankan dan memperlancar kelangsungan dominasi, bahwa memang dunia modern telah mencapai tahap extrimitas dalam dominasinya atas individu, termasuk ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pendidikan, perkuliahan dan akhir-akhir ini BHP_ misalkan dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk industri pengetahuan yakni struktur yang dibirokratisasikan untuk mengendalikan ranah kebudayaan dan pendidikan melalui modus ekonomi dan nalar rasionalitas formal dengan muatan efektifitas, fleksibelitas, akuntabel, dan sebagainya seperti yang disinggung Max Weber. Juga karena itu, mahasiswa  dicandui dengan janji-janji masa depan (dan maka itu bersedia dirasionalisasi), membungkam dan membunuh subjektifitasnya, untuk tidak menjadikan dirinya sebagai manusia merdeka. Mahasiswa diberikan semacam kebutuhan palsu yang bisa merangkai masa depan dalam kubangan dan kerangkeng globalisasi, dalam terma Freudian disebut sebagai pemberian libido (atau candu masa depan) dengan selubung mencapai cita-cita.

Dalam melihat hubungan antara pengetahuan dan kepentingan manusia, kita tidak dapat melihatnya sebagai hubungan yang menunjukkan keterpisahan faktor subjektif dan objektif. Keduanya saling berkelindan, pengetahuan ada pada ranah objektif, sedangkan kepentingan atau minat manusia adalah fenomena subjektif. Sehinga apa-apa yang menjadi cita, pembentukan nalar, dan sebagainya, telah diperbudak oleh paksaan-paksaan eksternal; dalam hal ini dapat disebutkan bahwa nalar mahasiswa dibentuk menjadi mesin atau robot pekerja untuk kemudian dipekerjakan demi kebutuhan kenyataan yang diproduksi oleh kultur dominan (kemodernan, kebutuhan industri, dll), atau pakem lain yang kemudian menguasai dan mereproduksi ilmu pengetahuan; dalam tuduhan Marcuse, manusia STAIN PAREPARE diarahkan untuk menjadi masyarakat satu dimensi yang berisi manusia-manusia yang bercita-cita sama, kebutuhan yang sama, ukuran-ukuran yang sama. Singkatnya kultur dominan tidak mengizinkan kita berbeda, jika berbeda maka konsekuensinya adalah alienasi. Mahasiswa dipaksa menghilangkan subjektfitas mereka  sendiri.  (Tragis Mode On)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

itu terjadi ga hanya di STAIN pare2 juga bung,di kampusku juga, mungkin dikampus2 lain juga begitu. saya tertarik dengan anda, terlebih pada tulisannya.

Unknown mengatakan...

ijin kopas buat tugas kuliah

Posting Komentar

Cermin

Cermin
 
© Copyright 2035 Jaahil Murokkab