“Entah mahkluk dari galaxi mana mahasiswa ini?”. Tidak ada kesanggupan intelektual yang memadai untuk memahaminya secara profesional-menyeluruh, baik dari aspek kacamata ontology, epistemology, aksiology atau logy-logy yang lain. Dangkal berpikirku hanya bisa mentranslate-nya secara liar dan sederhana bahkan terkadang asal dan terkesan ngawur. Mahasiswa, adalah orang yang dianggap-dikatakan-disebut-diakui-dipanggil-disepakati-dilayaki-diluluskan-dinyatakan terdaftar pada perguruan tinggi atau per-sekolah-an tinggi. Laki-laki, perempuan, ataupun baynahumaa. Mau dia masuk kuliah atau tidak, mau betul-betul belajar serius mencari ilmu atau sekedar jadi metodology buat cari jodoh, itu urusan belakangan yang penting bayar SPP-nya lunas tepat waktu dan mau beriman kepada segala aturan yang berlaku didalamnya. Adapun kata Masih-Mahasiswa, adalah pangkat-gelar-jabatan yang dihadiahkan buat mahasiswa yang entah karena ia kesurupan atau terlampau khusyu’-nya jadi mahasiswa, sehingga ia jadi fana’ filjaami’ah. Menyatu dengan kampusnya karena sedemikian besar cintanya, sehingga tidak mau berpisah atau meninggalkan kampusnya sampai tujuh, delapan, sembilan, sepuluh tahun atau lebih dari itu. Di tanah jawa mungkin orang mengenalnya dengan istilah “Manunggaling kawula lan kampus”. Semacam Wihdatul wujud, meskipun dalam level kosmis yang berbeda. Mereka telah sampai pada maqam hakikat, sehingga merasa tidak perlu lagi melakukan syariat-syariat kuliah. “Hindari Wisuda Usia Dini”, demikian pekikan jargon dan doktrin mulia mereka dalam setiap orasinya di warung kopi, yang kadang dijadikan wirid atau dzikir lisan dan nafas dimalam hari. Biasanya mereka mahasiswa penganut thariqat ini pada akhirnya akan mengalami Repot-Khatima. Makanya, anda harus super-extra hati-hati dengan yang ini.
Saya mungkin termasuk the lucky one karena pernah merasakan sengsara-nikmatnya jadi seorang mahasiswa. Ada semacam narkoba syubhat (entah ia hasanah atau justru mengandung neraka) yang tersebar di lingkungan maupun disekitaran zona kampus, itu yang biasanya membuat mahasiswa menjadi nyaman dan akhirnya jadi pelupa, lupa selupa-lupanya. Lupa kuliah, lupa waktu, lupa semester, lupa umur, lupa diri, lupa sholat, lupa tafsir-nya wal’ashri, lupa Tuhan, lupa segala-galanya. Tapi memang tidak mengherankan dan harus diakui secara jujur-- menjadi mahasiswa itu mempunyai kebanggaan tersendiri. Ada juga mahkluk Tuhan yang lain berinisial “SPd.I” yang rela mengejar-ngejar saya selama hampir 8 tahun, (mungkin anda juga sedang mengalami, walau dengan nama yang berbeda). Dia selalu membuntuti dan meneror dari belakang. Mahkluk aneh ini ingin melamar saya, sampai memohon agar dirinya dipakai dan disandingkan dengan namaku. Akhirnya karena merasa capek dikejar-kejar terus, terpaksa kuterima saja permintaannya. Yah begitulah, menjadi mahasiswa itu gampang-gampang susah, sementara nanti kalau mau sarjana itu akan berubah menjadi susah-susah gampang. Seseorang pernah berkata, kalau mau sukses, maka jadilah mahasiswa abadi, (jangan misuderstanding dulu). Maksudnya, kata “mahasiswa abadi” itu janganlah di artikan secara sempit dan licik. Pandanglah sekelilingmu, pakailah seribu macam mata, seribu cara pandang, seribu kerangka teori, seribu kepekaan agar bisa kau peroleh the core meaning of it.
Mahasiswa berasal dari kata maha dan siswa. Maha itu berarti ter-/paling/sangat/dahsyat/luar biasa, sedangkan kata siswa itu berarti pelajar/pembelajar/orang yang belajar/yang punya tugas belajar. Jadi Mahasiswa sama saja dengan maha pembelajar/ orang yang sangat paling ter-pelajar. Menurut tafsir binafsi saya, mahasiswa adalah orang yang sangat suka belajar, memiliki motivasi/semangat yang dahsyat dan luar biasa untuk belajar, menciptakan hobi dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak pernah lepas dari nilai belajar. Sehingga apapun yang ia lihat, yang ia dengar, katakan, dan lakukan senantiasa mempunyai muatan-muatan ilmu sebagai proses belajarnya. Apapun dan siapa saja akan menjadi gurunya. Jadi guru, dosen, ustadz, mentor, tutor, instruktur, pembimbing, dan pendidiknya sangat banyak dan bahkan bertambah terus. Adapun kata abadi, artinya tidak berbatas pada ruang dan waktu tertentu saja, jadi tempat dan waktu belajarnya tidak hanya sebatas tatap muka dengan dosen didalam kelas perkuliahan, tetapi juga ditempat lain. Misalnya membaca buku di perpustakaan, turut aktif dalam kegiatan organisasi (asal tidak kesurupan dalam berorganisasi), diskusi bebas di bawah pohon atau warung kopi, berdialog dengan siapa dan apa saja; dengan teman sekosan, senior, mahasiswa dari kampus lain, dengan guru, dosen, tokoh masyarakat atau bisa juga dialognya dengan golongan jin dan penduduk bumi ghaib yang kasat mata. (yang terakhir ini dont try at home kalau belum ahli, he he). Mahasiswa abadi dimaksudkan sebagai orang yang belajar terus (sampai mati), meskipun dia sudah mencapai gelar S1, S2, S3, atau S4-nya. Pokoknya Long life education, Ijasah belajar kita yang sejati adalah batu nisan kita. Sekarang saya tanya, kira-kira sebagai orang yang mengaku mahasiswa, sudah berapa buku yang sudah anda baca sampai detik ini?(selama anda menjadi mahasiswa). Atau buat anda yang mahasiswa bahasa arab atau inggris, sudah berapa vocabulary atau mufradat yang sudah anda hafalkan sampai hari ini?. Jangan sampai bulan demi bulan, semester demi semester dilalui, tahun berganti tahun, akhirnya mahasiswa baru datang lagi, tetapi anda tidak improved melainkan menjadi insan-mahasiswa yang lafii khusrin, yakni mengalami totalitas kerugian atau multi-kerugian. Agar tidak terjadi hal semacam itu, maka cepat-cepatlah menyadari diri dan segera ber-aamanuu wa ‘amilushsholihaat. “Aamanuu” berarti memberi rasa aman, maksudnya taat terhadap aturan kampus, tidak membuat bingung dan jengkel pejabat birokrasi, menghormati sesama civitas akademika, dan menjalankan setiap kewajibannya sebagai mahasiswa. Sedang kata“’Amilushsholihaat” maksudnya adalah mengamalkan perbuatan-perbuatan yang baik dan atau yang mempunyai unsur perbaikan. Misalnya; bersungguh-sungguh kuliah, rajin beli/ pinjam buku dan membaca, memanfaatkan beasiswa sebaik-baiknya di jalan yang benar dan bijak, mendoakan pemimpin dan dosen-dosennya, tidak membuat marah pak satpam, berpakaian sopan-bertutur santun, pandai mengatur waktu organisasi-kuliah, membiayai kuliahnya sendiri, tidak menunda-nunda penyelesaiannya, dan lain sebagainya dan lain seterusnya.
Beberapa hari yang lalu saya didatangi lewat telepon seorang mahasiswa tingkat akhir salah-satu Perguruan Tinggi yang juga seorang kawan dekat. Dia bercerita panjang kali lebar, mengungkapkan keprihatinan, ketakutan, kegelisahan, kecemasan, kegalauan, tuntutan, protes, semacam pra-demonstrasi walaupun tidak jelas kepada siapa ia peruntukkan. Sedemikian berat persoalan dan besar perhatiannya sehingga kepalanya mungkin mau meledak tak mampu menampung semua beban social-moral yang ada dalam pikirannya. Sepertinya dia mahasiswa yang kalau didengar dari nada dan gerak bicaranya adalah seorang aktivis yang pro-rakyat kecil, sangat care dengan perubahan, peka dan berempati terhadap masalah-masalah di lingkungannya, baik didalam kampusnya maupun di luar, baik skala local, tingkat regional, kelas nasional maupun level global. Dia ber-orasi ditelingaku tentang apa saja. Misalnya, tentang ratusan wakil rakyat yang tak kunjung merakyat, politik dunia dibalik pertandingan club Sepak bola dan kenaikan BBM, pemimpin yang firaunisme, partai yang calonnya lucu dan dia anggap tidak layak, nonstop-nya bencana, korupsi yang sangat membudaya dan dianggap biasa, belum lagi FPI yang ia tuduh menjadi kotoran islam, perkelahian pendapat antara NU dan Muhammadiyah, tentang pudarnya pesona dan kharisma beberapa ulama, demoralisasi mahasiswa, dosen belum juga dosen, organisasi yang semakin tidak organisasi, pembangunan konflik kampus, mahakarya “lagaligo” kebudayaan bugis yang di pinjam selamanya oleh belanda, Israel yang menempeleng palestina, Alien-alien asing yang menguasai perekonomian nusantara, sampai chaos dan pembunuhan massal yang terjadi di mesir, semua dia omongkan tanpa batas yang mungkin seandainya jika ditulis bakal menjadi satu buah buku yang Mega-Best Seller, Most wanted dan akan mendapat rekor MURI. Alhasil, kawan ini menguraikan secara luas dengan gaya bicara khas Soekarno dan nada suara mirip Gie, ia berbicara banyak tentang pelbagai hal-hal yang menggangu pikiran bin menyedihkan hatinya, dan diujung setiap kalimat-kalimatnya ia menutup dengan pertanyaan yang agak bernuansa revolusi; “Apa yang harus saya lakukan?”. Ia mengulang-ulang terus kata-katanya itu sampai lima kali. What should i do? “Apa yang mesti saya lakukan?”. Saya yang dari tadi dengan sabar mendengar pidatonya itu merasa harus sanggup menjawab pertanyaannya. Jadi kujawab saja; Bro, “Segera selesaikan skripsimu!”.
Nowadays. Mahasiswa, seharusnya memperbanyak membaca-- terutama membaca dirinya sendiri. Ada yang harus dilakukan, ada juga yang sebaiknya dilakukan, ada juga yang tidak harus/ boleh tidak dilakukan, ada juga yang lebih baik tidak dilakukan, ada juga yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Dalam agama kita kenal dengan istilah, Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Bercerminlah, kira-kira sebagai mahasiswa mana yang wajib, mana yang sunnah, mubah, makruh atau yang haram untuk kau lakukan. Renungkan, cari dan temukan sendiri. Tamparlah kesadaranmu, terbanglah kelangit lalu menukik kejantungmu, tanyakan kembali, apa yang kau lakukan selama ini? kenapa kau mahasiswa? siapa yang membayar ongkos hidup dan biaya kuliahmu selama ini?. Kamu mahasiswa, yang mengaku dengan angkuh sebagai agent of change, punya solidaritas tinggi dan sangat socialis, yang merasa bijak telah berguru kepada sederet Pilsuf terkenal seperti Thales, Aristoteles, Socrates, Plato, Descartes, Karl Marx, Kant, Hegel, Ryle, Nietzche, Machiavelly, Ockham, dll. Sudah merasa pandai karena mengenal dengan baik pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh nasional seperti, Buya Hamka, Nurcholish majid, Gus dur, Utomo Dananjaya, Hasan Abdullah Sahal, A. Malik Fajar, Anis baswedan, Agus sunyoto, dll. Merasa pop dan besar kepala karena menghafal mati nama-nama tokoh besar dunia seperti Mahatma Gandhi, Einsten, Edison, Ibnu Sina, Bill Gates, Steve job, Lincoln, Obama, Timur leng, Mao Tse Tung, Neil Armstrong, dll. Atau menganggap diri berwawasan luas karena pernah membaca buku atau karya para sastrawan dan budayawan seperti; Sutan Alisjahbana, Umbu Landu Paranggi, Putu Wijaya, Rendra, Chairil Anwar, Cak nun, Suryadi AG, Kollie Layun Rampan, Colliq Pujie, Butet Manurung, A. Mattulada, Nurhayati Rahman, dll. Apakah kamu mahasiswa yang bangga dengan gelar Iron stock-mu, generasi emas pemimpin bangsa, kaum intelektual muda yang elite, gagah dalam berorasi dan berdebat ilmiah, namun ternyata mengemis uang kuliah dari rakyat kecil yang bernama orang tuamu. Tidakkah engkau merasa jijik terhadap sebagian mahasiswa, yang kerjanya minta uang untuk kuliah dan pacaran. Minta uang membeli HP mahal namun tidak sanggup beli pulsa sendiri. Minta dibelikan motor tapi tak mampu beli bensin sendiri. Minta uang alasan beli buku, print tugas, fotocopy makalah, untuk bayar boarding house-nya, bayar makan, bayar ini-bayar itu, lantas nanti kalau sudah sarjana, sudah sukses jadi orang besar lalu pergi sejauh-jauhnya, terbang tinggi bersama karir dan pekerjaanya “lupa kulit” meninggalkan rakyat kecil. Menyia-nyiakan air mata perjuangan gigih orang-orang yang cuma berada dibalik layar. Kalau ayahmu rela terbakar berpanas-panas mencangkul di sawah, atau rela sakit kehujanan ditengah laut untuk mencari sesuatu yang bisa ia ubah menjadi uang untuk menghidupi sekolah dan hidupmu, ibumu bersedia jualan makanan untuk membiayai kuliahmu, atau mereka harus rela dan siap meratakan dengan tanah harga dirinya dengan meminjam uang ke-tetangga untuk mengongkosi kuliahmu. Sekarang, apakah kamu juga bersedia jadi tukang batu, tidak malu jadi tukang sapu jalanan atau cuci piring, apakah kamu bersedia jadi tukang ojek, berani antar galon, rela narik becak atau pekerjaan apa saja untuk keperluan masa depanmu sendiri?
Saya mungkin termasuk the lucky one karena pernah merasakan sengsara-nikmatnya jadi seorang mahasiswa. Ada semacam narkoba syubhat (entah ia hasanah atau justru mengandung neraka) yang tersebar di lingkungan maupun disekitaran zona kampus, itu yang biasanya membuat mahasiswa menjadi nyaman dan akhirnya jadi pelupa, lupa selupa-lupanya. Lupa kuliah, lupa waktu, lupa semester, lupa umur, lupa diri, lupa sholat, lupa tafsir-nya wal’ashri, lupa Tuhan, lupa segala-galanya. Tapi memang tidak mengherankan dan harus diakui secara jujur-- menjadi mahasiswa itu mempunyai kebanggaan tersendiri. Ada juga mahkluk Tuhan yang lain berinisial “SPd.I” yang rela mengejar-ngejar saya selama hampir 8 tahun, (mungkin anda juga sedang mengalami, walau dengan nama yang berbeda). Dia selalu membuntuti dan meneror dari belakang. Mahkluk aneh ini ingin melamar saya, sampai memohon agar dirinya dipakai dan disandingkan dengan namaku. Akhirnya karena merasa capek dikejar-kejar terus, terpaksa kuterima saja permintaannya. Yah begitulah, menjadi mahasiswa itu gampang-gampang susah, sementara nanti kalau mau sarjana itu akan berubah menjadi susah-susah gampang. Seseorang pernah berkata, kalau mau sukses, maka jadilah mahasiswa abadi, (jangan misuderstanding dulu). Maksudnya, kata “mahasiswa abadi” itu janganlah di artikan secara sempit dan licik. Pandanglah sekelilingmu, pakailah seribu macam mata, seribu cara pandang, seribu kerangka teori, seribu kepekaan agar bisa kau peroleh the core meaning of it.
Mahasiswa berasal dari kata maha dan siswa. Maha itu berarti ter-/paling/sangat/dahsyat/luar biasa, sedangkan kata siswa itu berarti pelajar/pembelajar/orang yang belajar/yang punya tugas belajar. Jadi Mahasiswa sama saja dengan maha pembelajar/ orang yang sangat paling ter-pelajar. Menurut tafsir binafsi saya, mahasiswa adalah orang yang sangat suka belajar, memiliki motivasi/semangat yang dahsyat dan luar biasa untuk belajar, menciptakan hobi dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak pernah lepas dari nilai belajar. Sehingga apapun yang ia lihat, yang ia dengar, katakan, dan lakukan senantiasa mempunyai muatan-muatan ilmu sebagai proses belajarnya. Apapun dan siapa saja akan menjadi gurunya. Jadi guru, dosen, ustadz, mentor, tutor, instruktur, pembimbing, dan pendidiknya sangat banyak dan bahkan bertambah terus. Adapun kata abadi, artinya tidak berbatas pada ruang dan waktu tertentu saja, jadi tempat dan waktu belajarnya tidak hanya sebatas tatap muka dengan dosen didalam kelas perkuliahan, tetapi juga ditempat lain. Misalnya membaca buku di perpustakaan, turut aktif dalam kegiatan organisasi (asal tidak kesurupan dalam berorganisasi), diskusi bebas di bawah pohon atau warung kopi, berdialog dengan siapa dan apa saja; dengan teman sekosan, senior, mahasiswa dari kampus lain, dengan guru, dosen, tokoh masyarakat atau bisa juga dialognya dengan golongan jin dan penduduk bumi ghaib yang kasat mata. (yang terakhir ini dont try at home kalau belum ahli, he he). Mahasiswa abadi dimaksudkan sebagai orang yang belajar terus (sampai mati), meskipun dia sudah mencapai gelar S1, S2, S3, atau S4-nya. Pokoknya Long life education, Ijasah belajar kita yang sejati adalah batu nisan kita. Sekarang saya tanya, kira-kira sebagai orang yang mengaku mahasiswa, sudah berapa buku yang sudah anda baca sampai detik ini?(selama anda menjadi mahasiswa). Atau buat anda yang mahasiswa bahasa arab atau inggris, sudah berapa vocabulary atau mufradat yang sudah anda hafalkan sampai hari ini?. Jangan sampai bulan demi bulan, semester demi semester dilalui, tahun berganti tahun, akhirnya mahasiswa baru datang lagi, tetapi anda tidak improved melainkan menjadi insan-mahasiswa yang lafii khusrin, yakni mengalami totalitas kerugian atau multi-kerugian. Agar tidak terjadi hal semacam itu, maka cepat-cepatlah menyadari diri dan segera ber-aamanuu wa ‘amilushsholihaat. “Aamanuu” berarti memberi rasa aman, maksudnya taat terhadap aturan kampus, tidak membuat bingung dan jengkel pejabat birokrasi, menghormati sesama civitas akademika, dan menjalankan setiap kewajibannya sebagai mahasiswa. Sedang kata“’Amilushsholihaat” maksudnya adalah mengamalkan perbuatan-perbuatan yang baik dan atau yang mempunyai unsur perbaikan. Misalnya; bersungguh-sungguh kuliah, rajin beli/ pinjam buku dan membaca, memanfaatkan beasiswa sebaik-baiknya di jalan yang benar dan bijak, mendoakan pemimpin dan dosen-dosennya, tidak membuat marah pak satpam, berpakaian sopan-bertutur santun, pandai mengatur waktu organisasi-kuliah, membiayai kuliahnya sendiri, tidak menunda-nunda penyelesaiannya, dan lain sebagainya dan lain seterusnya.
Beberapa hari yang lalu saya didatangi lewat telepon seorang mahasiswa tingkat akhir salah-satu Perguruan Tinggi yang juga seorang kawan dekat. Dia bercerita panjang kali lebar, mengungkapkan keprihatinan, ketakutan, kegelisahan, kecemasan, kegalauan, tuntutan, protes, semacam pra-demonstrasi walaupun tidak jelas kepada siapa ia peruntukkan. Sedemikian berat persoalan dan besar perhatiannya sehingga kepalanya mungkin mau meledak tak mampu menampung semua beban social-moral yang ada dalam pikirannya. Sepertinya dia mahasiswa yang kalau didengar dari nada dan gerak bicaranya adalah seorang aktivis yang pro-rakyat kecil, sangat care dengan perubahan, peka dan berempati terhadap masalah-masalah di lingkungannya, baik didalam kampusnya maupun di luar, baik skala local, tingkat regional, kelas nasional maupun level global. Dia ber-orasi ditelingaku tentang apa saja. Misalnya, tentang ratusan wakil rakyat yang tak kunjung merakyat, politik dunia dibalik pertandingan club Sepak bola dan kenaikan BBM, pemimpin yang firaunisme, partai yang calonnya lucu dan dia anggap tidak layak, nonstop-nya bencana, korupsi yang sangat membudaya dan dianggap biasa, belum lagi FPI yang ia tuduh menjadi kotoran islam, perkelahian pendapat antara NU dan Muhammadiyah, tentang pudarnya pesona dan kharisma beberapa ulama, demoralisasi mahasiswa, dosen belum juga dosen, organisasi yang semakin tidak organisasi, pembangunan konflik kampus, mahakarya “lagaligo” kebudayaan bugis yang di pinjam selamanya oleh belanda, Israel yang menempeleng palestina, Alien-alien asing yang menguasai perekonomian nusantara, sampai chaos dan pembunuhan massal yang terjadi di mesir, semua dia omongkan tanpa batas yang mungkin seandainya jika ditulis bakal menjadi satu buah buku yang Mega-Best Seller, Most wanted dan akan mendapat rekor MURI. Alhasil, kawan ini menguraikan secara luas dengan gaya bicara khas Soekarno dan nada suara mirip Gie, ia berbicara banyak tentang pelbagai hal-hal yang menggangu pikiran bin menyedihkan hatinya, dan diujung setiap kalimat-kalimatnya ia menutup dengan pertanyaan yang agak bernuansa revolusi; “Apa yang harus saya lakukan?”. Ia mengulang-ulang terus kata-katanya itu sampai lima kali. What should i do? “Apa yang mesti saya lakukan?”. Saya yang dari tadi dengan sabar mendengar pidatonya itu merasa harus sanggup menjawab pertanyaannya. Jadi kujawab saja; Bro, “Segera selesaikan skripsimu!”.
Nowadays. Mahasiswa, seharusnya memperbanyak membaca-- terutama membaca dirinya sendiri. Ada yang harus dilakukan, ada juga yang sebaiknya dilakukan, ada juga yang tidak harus/ boleh tidak dilakukan, ada juga yang lebih baik tidak dilakukan, ada juga yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Dalam agama kita kenal dengan istilah, Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Bercerminlah, kira-kira sebagai mahasiswa mana yang wajib, mana yang sunnah, mubah, makruh atau yang haram untuk kau lakukan. Renungkan, cari dan temukan sendiri. Tamparlah kesadaranmu, terbanglah kelangit lalu menukik kejantungmu, tanyakan kembali, apa yang kau lakukan selama ini? kenapa kau mahasiswa? siapa yang membayar ongkos hidup dan biaya kuliahmu selama ini?. Kamu mahasiswa, yang mengaku dengan angkuh sebagai agent of change, punya solidaritas tinggi dan sangat socialis, yang merasa bijak telah berguru kepada sederet Pilsuf terkenal seperti Thales, Aristoteles, Socrates, Plato, Descartes, Karl Marx, Kant, Hegel, Ryle, Nietzche, Machiavelly, Ockham, dll. Sudah merasa pandai karena mengenal dengan baik pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh nasional seperti, Buya Hamka, Nurcholish majid, Gus dur, Utomo Dananjaya, Hasan Abdullah Sahal, A. Malik Fajar, Anis baswedan, Agus sunyoto, dll. Merasa pop dan besar kepala karena menghafal mati nama-nama tokoh besar dunia seperti Mahatma Gandhi, Einsten, Edison, Ibnu Sina, Bill Gates, Steve job, Lincoln, Obama, Timur leng, Mao Tse Tung, Neil Armstrong, dll. Atau menganggap diri berwawasan luas karena pernah membaca buku atau karya para sastrawan dan budayawan seperti; Sutan Alisjahbana, Umbu Landu Paranggi, Putu Wijaya, Rendra, Chairil Anwar, Cak nun, Suryadi AG, Kollie Layun Rampan, Colliq Pujie, Butet Manurung, A. Mattulada, Nurhayati Rahman, dll. Apakah kamu mahasiswa yang bangga dengan gelar Iron stock-mu, generasi emas pemimpin bangsa, kaum intelektual muda yang elite, gagah dalam berorasi dan berdebat ilmiah, namun ternyata mengemis uang kuliah dari rakyat kecil yang bernama orang tuamu. Tidakkah engkau merasa jijik terhadap sebagian mahasiswa, yang kerjanya minta uang untuk kuliah dan pacaran. Minta uang membeli HP mahal namun tidak sanggup beli pulsa sendiri. Minta dibelikan motor tapi tak mampu beli bensin sendiri. Minta uang alasan beli buku, print tugas, fotocopy makalah, untuk bayar boarding house-nya, bayar makan, bayar ini-bayar itu, lantas nanti kalau sudah sarjana, sudah sukses jadi orang besar lalu pergi sejauh-jauhnya, terbang tinggi bersama karir dan pekerjaanya “lupa kulit” meninggalkan rakyat kecil. Menyia-nyiakan air mata perjuangan gigih orang-orang yang cuma berada dibalik layar. Kalau ayahmu rela terbakar berpanas-panas mencangkul di sawah, atau rela sakit kehujanan ditengah laut untuk mencari sesuatu yang bisa ia ubah menjadi uang untuk menghidupi sekolah dan hidupmu, ibumu bersedia jualan makanan untuk membiayai kuliahmu, atau mereka harus rela dan siap meratakan dengan tanah harga dirinya dengan meminjam uang ke-tetangga untuk mengongkosi kuliahmu. Sekarang, apakah kamu juga bersedia jadi tukang batu, tidak malu jadi tukang sapu jalanan atau cuci piring, apakah kamu bersedia jadi tukang ojek, berani antar galon, rela narik becak atau pekerjaan apa saja untuk keperluan masa depanmu sendiri?
0 komentar:
Posting Komentar