Senin, 16 April 2018

Nasib Desa(Ku)

Nasib desaku
Oleh: Dirja Wiharja
Berpuluh tahun silam,
Satu usaha untuk membangun peradaban desa
Orangtua di desa mengirim anak-anaknya ke kota
Menyuruhnya bersekolah, kuliah dan berkenalan dengan barang mewah,
Belajar menjadi orang gagah, kaya dan bergaya
Meniru cara berjalan orang kota, mengikuti cara makan dan berpakaian orang kota
Katanya, agar tidak kolot dan terpencil seperti nenek moyang mereka,
Upaya yang benar-benar serius!
Maka berangkatlah anak-anak desa itu menuju kota.
Maka setiap tahun, orangtua dari berbagai penjuru kampung-kampung
mengekspor anak-anak mereka ke suatu wilayah bernama kota.
Berpuluh tahun kemudian,
Betul! Kota berhasil merubah pola pikir anak-anak mereka,
Mengganti perangkat isi kepala mereka dari mitos ke logos,
Dari cara-cara primitif ke prilaku modern yang kreatif,
Pandai berbicara, berkemeja, bersepatu, dan bermain sandiwara
Kota telah sukses mendidik anak-anak mereka
Berpuluh tahun kemudian,
Para orangtua perlahan menyadari kesalahannya
Dulu, sebelum anak-anak mereka berangkat ke kota
Orangtua hanya membekali mereka dengan semangat saja
Tapi ternyata lupa menasehatkan mereka agama dan adat.
Rupanya orangtua tak tahu
Kalau di kota, agama sudah dilembagakan, tanda-tanda suci sudah lama dipolitikkan
Nasehat-nasehat adat leluhur hanya jadi bahan tertawaan
Ternyata orangtua tak tahu
Kalau di kota, tuhan sudah lama dilupakan
Orangtua mulai menyesal satupersatu
Anak-anaknya tak mau kembali ke desa
Mereka lebih senang tinggal dan meninggal di kota
Beberapa anak memang ada yang kembali ke desa
Tapi itu karena kota tak sudi untuk menampungnya,
Akhirnya mereka terpaksa pulang ke desa membawa arogansi kota;
Tak mau bekerja di sawah,
Malu memikul cangkul, tak mau lagi menggembala kerbau,
dan mencari ikan di laut
Sebab di sekolah mereka diajarkan hal;
Bahwa bertani, berkebun, menggembala itik,
menjadi ibu rumah tangga bukanlah jenis pekerjaan.
Orangtua benar-benar tak menyangka
Orang kota telah menculik jiwa anak-anaknya
menyekap mereka dalam ruangan sempit
sambil mengajari mereka mengeja kejahatan
Di desa, anak-anak diajari hidup sederhana, bersahaja
dan bahagia dengan makna-makna, bukan dengan benda-benda, tapi
Di kota, anak-anak diajari gaya hidup mewah, cara bicara yang sangat lewah,
dan berteman akrab dengan narkoba, wah wah
kota mengajari anak-anak desa untuk bahagia harus dengan uang,
dengan nafsu, dan kekuasaan,
bukan bahagia dengan perasaan-perasaan.
Apalagi bahagia dengan kesadaran bertuhan.
Berpuluh tahun yang akan datang,
Anak-anak desa yang belajar di kota
tak ada yang mau dan tertarik kembali ke desa
Kota telah menyantet dan mencuci otak mereka
Dengan mall, restauran, rumah bernyanyi, hotel dan tempat-tempat hiburan
Kota telah membegal akal pikiran dan hati mereka
Kota pun telah mengajari anak-anak desa dengan pacaran;
Memegang tangan perempuan, masuk kamar berduaan, berciuman,
berpelukan dan main kuda-kudaan.
Kota mengajari anak-anak desa menjadi anak yang kurang ajar
Kota mengubah anak-anak desa menjadi anak yang cepat masuk angin,
gampang ditipu dan diadu domba,
Kota mengajari anak-anak desa menjadi orang
yang sangat mudah marah dan sulit memaafkan,
Kota mengajari anak-anak desa menjadi orang
yang merasa paling pintar dan tak mau disalahkan,
Kota mengajari anak-anak desa menjadi orang
yang membenci perbedaan dan suka memancing perpecahan,
Kota mengajari anak-anak desa menjadi orang
yang tak tahu membedakan mana makanan mana kotoran,
Kota telah berhasil merampok seluruh kemurnian anak-anak desa
Akhirnya,
Anak desa menjadi orang yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”
Kemana larinya anak-anak desa itu?
Kemana perginya anak-anak yang suci itu?
Kemana mereka?
Wah, ternyata mereka lagi sibuk main hape.

0 komentar:

Posting Komentar

Cermin

Cermin
 
© Copyright 2035 Jaahil Murokkab