Dewasa itu mental. Bukan soal umur. Bukan tentang sekolah tinggi-tinggi, punya kerja mapan, sukses atau kaya. Juga bukan mengenai jenis kelamin, warna kulit, model rambut, jumlah gigi, eksistensi duniawi, jumlah gelar akademis maupun pangkat sosialnya. ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan jenis pakaian atau jubah seseorang. Bukan mengenai tampilan fisik dan tingkat intelejensi seseorang, bukan soal religiusitas, walaupun mungkin saja sedikit ada korelasinya dengan spiritualitas seseorang. Tapi sebenarnya ini adalah masalah ilmu hidup.
Jadi jangan kait-kaitkan kasus kedewasaan seseorang dengan urusan tua-muda, laki-perempuan, atasan-bawahan, pemerintah-rakyat, penjual-pembeli, mahasiswa-dosen, supir-penumpang dan seterusnya. Dewasa itu kemantapan sikap. Psikologi kepantasan. Kematangan pola pikir. Ketepatan Aplikasi Khoirul umuuri awsaatuhaa. Pengetahuan ilmu tentang batas. Lagi-lagi bukan masalah seberapa lama dia hidup, tapi seberapa banyak kehidupan yang ia lulusi dengan predikat rhodiyatan mardhiyyah dan rahmatan lil'alamin. Dimensi dimana ia pergi-pulang setiap hari membawa ridho Allah. Dan untuk menggapai "itu" maka yang harus kita lakukan adalah selalu mengkerjasamakan antara kehendak kita dengan kehendak Allah. Bukan kehendak kita semata apalagi dibawah komando nafsu belaka. Adalah kemampuan membedakan dan memposisikan mana keinginan dan mana kebutuhan. Kalau keinginan adalah motor penggeraknya, maka saya pastikan tidak akan ada ujung pangkalnya. Memang tidak ada habis-habisnya.
Memang agak sulit mengetahui kedewasaan seseorang. Ukurannya bukan soal apa dia anak-anak atau sudah bapak-bapak. Karena ternyata ada anak-anak yang sangat kebapak-bapakan----dewasa, dan kadang kita temukan sebaliknya ada bapak-bapak yang sangat kekanak-kanakan. Mau buktinya? Lihat saja di sekitarmu, banyak bapak-bapak yang suka meniru kelakuan anak-anak. Sukanya main-main. Ya, main perempuan. Masih suka jajan. Ya, jajan paha dan susu di kios-kios pelacuran. Dan yang menambah syoknya jiwa kita ternyata setelah ditelusuri, diantara bapak-bapak itu ada yang seorang Mentri, pegawai, atau aparat negara. Kita kadang bingung juga, antara memilih untuk tertawa karena lawakannya atau menjerit sakit karena kerusakan moralnya.
Mereka benar-benar ahli memplagiasi kehidupan anak-anak. Mereka amat total dan bersungguh-sungguh dalam meneladani prilaku dan kebiasaan anak-anak. Sehingga istilah Kenakalan anak-anak itu kini sangat-sangat bisa diupdate menjadi kenakalan bapak-bapak. Kepolosan anak-anak yang biasa merusak barang-barang di rumah, mereka juga sangat suka melakukannya. Hanya saja mereka bapak-bapak itu kepolosannya diatas normal, level wilayahnya lebih luas. Ya, mereka merusak rumah rakyat; negara. Jadi apa itu dewasa?
Walhasil, Saya sepakat saat gusdur menganulir pernyataannya yang mengatakan DPR itu taman kanak-kanak. Sangat tidak pantas jika kesucian anak-anak diamakan dengan kenajisan bapak-bapak yang ada di Dewan itu. Sangat tidak adil jika Kejujuran anak-anak disetarakan dengan kemunafikan bapak-bapak yang itu-itu. Akan sangat absurd bila kemurnian anak-anak disanding-bandingkan dengan kebusukan bapak-bapak tertentu itu. Jadi dewasa itu apa! Tanda tanya itu kini berubah menjadi tanda seru. Ini bukan lagi pertanyaan, tapi sudah meningkat menjadi pernyataan. Dan akan terus meningkat dan meningkat terus, meningkat menjadi sindiran, lalu menjadi peringatan, lalu menjadi kritik, lalu menjadi aksi protes, lalu menjadi status awas, lalu menjadi gerakan revolusi, dan puncaknya akan menjadi acara hiburan di televisi. Hahahahah..... tidak lucu goblok..!!!!
Bagaimana seharusnya epistemologi dari dewasa? Ada orang yang celana dalamnya saja sampai puluhan juta. Ada juga yang ranjang-kasurnya sampai ratusan juta. Mobilnya milyaran. Pesta pernikahannya trilyunan. Busyet.....!!!! Subhanallah...!!! Apakah itu salah? Tentu saja tidak, apalagi jika itu adalah hasil keringatnya sendiri. Itu tidak masalah jika uang yang dipakai membeli semua itu dari hasil usaha-kerjanya sendiri. Itu hak mereka. Mereka bebas menghabiskannya. Mereka merdeka merayakannya.
Namun, kalau dipikir-pikir itu sepertinya tidak dewasa. Tentu Anda boleh tidak sependapat dengan saya. Justru saya senang, karena itu membuka peluang untuk melanjutkan diskusi ini. Dan yang lebih penting lagi adalah saya punya kesempatan untuk menghargai dan menghormati yang lain. Dan itulah tujuan utama saya.
Ada juga orang yang handphonenya saja sampai lima biji. Kemana-mana lima-limanya ditenteng. Apa-apaan itu..!!! Saya tidak bisa membayangkan kalau kelima-limanya bersamaan berdering. Dia kan cuma punya satu mulut dan dua telinga. Hahahah.... Untungnya saya tidak pernah jadi membayangkannya. Ada juga yang setiap hari shopping di mall beli pakaian. Makannya hampir setiap harinya di restoran mewah. Liburannya setiap weekend keluar negri. ada yang setiap bulan pergi meludah di mekah. Dan kalau saya teruskan, bisa-bisa saya dicurigai iri hati sama mereka. Tapi tak mengapa. Saya sudah terbiasa dicurigai dan difitnah, guna menyembunyikan diri sejati saya. Jangan lihat chasing saya, tapi lihatlah setan yang ada di dalamnya. Hehehehe
Jadi dewasa itu adalah dewasa itu sendiri. Kesanggupan diri untuk mengembangkan diri-diri yang lain. Maksud saya, manusia itu terdiri dari berbagai Anasir diri. Ada fisik, ada psikis, ada emosi, ada intelejensi, dan ada juga unsur spiritualnya. Dan manusia harus mampu menumbuh-kembangkan semuanya itu. Jangan fisik tubuhnya saja yang tumbuh tapi emosinya tidak, kepandaiannya tidak, spiritualnya juga tidak. Semua harus ikut tumbuh, ikut belajar, ikut mengerjakan pengalaman, dan ikut serta mengabdi. Harus seimbang dan harmoni. Istilah sederhana adalah kesimbangan zhahir dan bathin. Keduanya harus saling bekerjasama, mengerjakan fungsi-fungsi khalifahnya.
Manusia paling dewasa adalah rasulullah. Beliau ditawari oleh Allah gunung emas dan menjadi nabi yang raja, akan tetapi beliau memilih "sederhana" sebagai nabi yang jelata. Ini kedewasaan yang puncak menurut saya. Nabi sulaiman yang dianugerahi kekayaan yang abadi tidak ada seorangpun yang mampu melebihinya juga ternyata pakaiannya biasa-biasa saja. Itu karena beliau dewasa. Jadi jika anda punya banyak rupiah atau Dollar untuk membeli kasur seharga ratusan juta, dewasalah. Belilah yang seharga ratusan ribu saja, selebihnya kau tabung atau pakai untuk menolong yang membutuhkannya. Insya Allah berkah.
Akhirnya, perihal kedewasaan menjadi diskusi panjang. Nanti kapan-kapan kita lanjutkan!
Kamis, 19 September 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar