Orang yang melarang, mensyirikkan, membid'ahkan atau bahkan mengkafirkan orang yang melaksanakan ritual sedekah bumi dan laut adalah orang-orang beriman. Mereka sangat waspada dan penuh kehati-hatian dalam beribadah atau melakukan sesuatu. Mereka tidak mau ibadahnya rusak atau batal karena melakukan sesuatu yang tidak ada dalam alquran dan tidak pernah dicontohkan oleh nabi. Mereka sangat wara' dalam beribadah, karena tidak ingin pahalanya berkurang atau hilang karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat islam. Semua itu dilakukan demi Allah. Sungguh mulia mereka. Akan tetapi niat baik mereka itu ceroboh karena cara berpikir dan pola sikap mereka yang terlalu tekstual, materialistik dan kadang bertindak kurang ajar kepada sesama.
Sebenarnya saya sendiri bisa memahami dan memaklumi, sebab mereka barangkali bukan manusia rohani (atau belum). Tidak memiliki kepekaan rasa untuk menyadari dan menangkap informasi atau pengetahuan ghaib di balik fenomena di muka bumi. Mungkin mereka tidak memahami bahwa ada energi yang bekerja yang terlibat dan bahkan selalu berinteraksi dengan manusia, walaupun manusia tidak menyadarinya. Energi itu adalah pancaran dan pendaran cahaya ilahi. Ia dimaknai sebagai rentangan kekuasaan dan sifat-sifat tuhan yang maha bekerja (fa'aal). Laa ta'khudzuhu sinatun wa laa nawm. Ya, energi itu senantiasa bekerja walaupun manusia tidak melihat dan tidak menyadarinya. Leluhur kita yang memiliki bathin yang terupgrade sangat menyadari hal ini.
Analoginya, seperti makanan yang terhidang di piring kita. Untuk sampai di piring kita, tentu banyak orang yang ikut terlibat di situ. Misalnya nasi yang kita makan, untuk mendapatkannya, yang bekerja dan yang terlibat di situ ada banyak pihak. Ada petani, ada yang memanen, ada yang menjemurnya, ada yang mengangkut ke pabrik, ada yang memabrik merubah gabah menjadi beras, ada yang memasukkan dalam karung, ada yang menjual, ada yang memasak berasnya menjadi nasi, kemudian bisa terhidang di piring dan barulah kita memakannya. Belum lagi lauk pauknya seperti ikan atau ayam atau sayur dan lain sebagainya. Ada banyak sekali pihak yang turut bekerja dan terlibat tanpa kita menyadarinya.
Demikianlah hidup ini. Demikianlah alam semesta. Manusia terlalu antroposentris. Padahal manusia tidak sendiri. Manusia bukanlah satu-satunya makhluk di dunia ini yang hidup, yang bergerak, bekerja atau mengabdi kepada Tuhan. Gunung, hutan, sungai, lautan, tumbuhan, hewan, jin, khodam, makhluk Astral, malaikat atau sebutlah energi yang bersifat ghoib dan seterusnya, seluruhnya mengabdi bekerjasama satu sama lain sesuai dengan sistem atau hukum yang telah diciptakan oleh tuhan. Hukum alam atau yang kita sebut sebagai sunnatullah adalah salah satu dari sistem yang telah diciptakanNya untuk merawat, menjaga dan menyeimbangkan alam semesta. Bencana yang sering terjadi pun adalah bentuk dari penjagaanNya. Ketika alam mengalami ketidak seimbangan, atau mendapat perlakuan tidak adil dari makhluk yang menghuninya, maka Alam akan segera merespon dan memberi reaksi. Gerakan alam semesta yang sedang mencari keseimbangan baru itulah yang manusia menyebutnya sebagai bencana. Seperti gunung meletus, banjir, gempa, tsunami dan sebagainya. Singkatnya, alam ini sebenarnya memiliki kemampuan dan keistimewaan untuk memperbaiki diri ketika mengalami kerusakan atau lebih tepatnya jika dirusak oleh tangan-tangan kufur manusia.
Lagi pula, kalau orang bersedekah memang bukan kepada Tuhan, tapi kepada orang lain yang menurut kita membutuhkan. Jadi kalau ada yang melarang sedekah bumi dan laut dengan alasan karena sedekahnya katanya untuk makhluk Astral, atau jin yang menjaganya, apa salahnya? Hanya sekedar bersedekah, berbagi, dan tidak menyembahnya. Kecuali kalau ada yang menuhankan dan menyembahnya, takut hingga minta keselamatan kepadanya, itu jelas persoalan lain. Kita tetap berhati-hati supaya tidak tergelincir. Bersandarlah dan mintalah pertolongan hanya kepada Allah. Hanya kepadaNya. Singkatnya, menyedekahi jin, bagi saya sama halnya kalau bersedekah ke orang-orang. Sama-sama bersedekah bukan kepada Tuhan. Tapi kepada makhlukNya: manusia dan atau jin. Dan memang, sedekah itu bukan untuk tuhan. Tuhan tidak butuh apa-apa. Lha wong yang kamu sedekahkan itu adalah milikNya, kekayaanNya. Yang tuhan ingin lihat adalah kamu bersedekah dalam rangka apa, hatimu bagaimana, ikhlas apa terpaksa, tulus atau modus, lillahi ta'ala atau li-pahala. Sedekah itu bukan berarti kita sedang memberi kebaikan, tapi justru bermakna kita sedang menerima kebaikanNya. Sebab sedekah bisa membuat kita lebih peka terhadap kondisi lingkungan sekitar kita, mengurangi keterikatan kita terhadap materi atau harta benda. Sedekah adalah proses menyembuhkan diri kita dari penyakit cinta dunia yang berlebihan. Tapi, daripada sedekah untuk jin atau demit, lebih baik dan indah kalau bersedekah kepada sesama manusia saja. Masih banyak saudara sesama di sekitar yang lebih membutuhkan bantuan sedekah kita. Biarlah urusan jin diurus sesama jin. Iya kan?
Bijaknya, Kita sebaiknya melakukan tafakkur (akal) dan tadzakkur (intuisi) sebelum menilai atau mengambil keputusan dalam berbudaya dan beragama. Dalam salah satu Qaidah Fiqhiyah, saya mengenal prinsip 'Al muhafadzatu ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah' (upaya pelestarian nilai-nilai (luhur) yang baik di masa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Artinya, ketika ada sebuah budaya atau tradisi di suatu daerah yang baik, maka dalam pemahaman saya, kita tidak serta merta menolaknya mentah-mentah, apalagi sampai bertindak intolerant, hanya karena dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Sebaliknya, mari kita berendah hati, berlapang dada, menerima dan kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai Islam, supaya budaya dan tradisi itu terus menerus ada dan tidak bertentangan dengan syariat agama. Sebab kekuatan dan ciri khas bangsa Indonesia ada pada tradisi dan budayanya yang beragam. Jika tidak dirawat, hilanglah semua tergerus dan tertelan zaman yang makin kacau dan edan ini.
Akan tetapi, saya menyadari, penjelasan semacam ini sulit diterima oleh orang-orang beriman "itu". Sebab aktivitas dan ibadah mereka harus berdasar "hukum" tuhan. Yaitu syariat yang telah tertulis dalam kitab suci dan telah dicontohkan oleh nabi yang kemudian telah dicatat atau direkam dalam kitab-kitab hadits. Selain daripada itu, haram! Wajarlah kalau kemudian muncul jargon "kembali ke alquran dan sunnah". Ini adalah bentuk dakwah dan sindiran mereka kepada orang-orang yang beribadah atau melakukan aktivitas yang menurutnya bid'ah dan mengandung kemusyrikan. Misalnya, sedekah bumi dan sedekah laut, memelihara pusaka leluhur, yasinan, tahlilan, mawlid, isra' mikraj, ziarah kubur dan seterusnya. Amaliyah semacam ini bagi mereka adalah bid'ah. Wakulla bid'atin dholalah, Wakulla dholalatin finnaar. Semua yang bid'ah itu sesat. Dan semua yang sesat masuk neraka. Alhamdulillah, ada orang hebat yang bisa meramal kehidupan akhirat berdasar pendapatnya sendiri.
Saya diam-diam sebenarnya kagum dan ngefans sama orang-orang beriman model ini. Saya curiga, betapa hebatnya mereka. Misalnya, orang ke kuburan divonis musyrik. Alasannya, karena mereka yang datang ke kuburan itu datang untuk meminta kepada orang yang sudah meninggal, bukan kepada Tuhan. Saya curiga, orang-orang yang begitu mudah menghukumi musyrik itu memiliki pandangan mata bathin yang sungguh luar biasa, hebat, sebab bisa menembus dan mengetahui isi hati seseorang. Bisa mengukur dan menyaksikan iman seseorang. Wow! Saya Tiba-tiba mau berguru kepada mereka. Bagaimana caranya kita bisa menilai dan mengetahui iman orang lain. Sakti! Benar-benar unbelievable!
Padahal Setiap hari juga mereka meminta tolong kepada orang lain, bukan kepada Tuhan. Tapi entah kenapa mereka tidak pernah mengatakan bahwa itu musyrik. Heuheu
Kalau mau lebih hemat, begini saja, daripada saya terus memohon, meminta tolong, berdoa, berniat dan menyembah Tuhan yang salah, maka begini saja, Tunjukkan saya tuhan yang asli yang sejati itu. Yang mana? Yang mana?
Allah? Iya, yang mana itu Allah? Jangan sebut namaNya saja, nanti saya malah menyembah nama. Tolong, iman saya masih lemah. Ilmu saya masih awam. Saya tidak makrifat. Mohon, tunjuk langsung, biar saya tidak musyrik. Yang mana? Allah? Allah yang mana itu? Setahu saya, dulu juga ada berhala yang bernama Allah. Jadi, Allah yang mana ini? Saya tidak butuh dalil, argumentasi atau ocehan apapun. Silahkan langsung tunjukkan saja kepada saya. Yang mana?
Bagaimana? Bisa? Heuheu. Syirik itu letaknya di hati dan pikiran manusia. Mana mungkin manusia dihukumi kafir atau musyrik hanya karena penampilan, ucapan atau perbuatannya. Padahal, orang yang sedang sholat juga tetap memiliki potensi musyrik bila saat sholat, pikiran dan hatinya sibuk mengingat dunia atau tertuju kepada yang selain Allah. Itulah kenapa kita diminta melatih hati dan pikiran dengan dzikrullah. Agar kita bisa berdzikir dan tetap terhubung kepada Allah. Sadar-Allah pada setiap aktivitas keseharian kita di dunia. Baik di dalam maupun di luar sholat. Wal-hasil, sedekah laut atau sedekah bumi adalah ekspresi rasa syukur kita atas nikmat yang Tuhan anugerahkan kepada kita semua, yang dengan akal budinya, manusia berkreasi. Adapun perihal vonis kemusyrikannya, mari kita kembalikan kepada Allah. Alaisallahu bi ahsanil haakimiin. Hanya Allah yang punya data lengkap dan akurat mengenai kondisi hati dan iman manusia. Manusia jangan berlagak seperti tuhan. Wal-akhir, ini hanya pendapat saya. Yang tidak setuju, saya persilahkan dengan hormat.
1 komentar:
Izin share senior🙏
Posting Komentar